Selasa, 18 Mei 2010

Fakta Musik Indonesia Kata Remy Silado "Sesama Penyolong Jangan Saling Mendahului"

Buat temen2ku smua yang lagi Belajar musik, kayaknya ini adalah info penting yang harus temen2 tau, ato k-lo lebih bagus cari info yang lebih lagi tentang ini untuk memperkaya wawasan kita soal musik, khususnya musik Indonesia. Kali ini aku mengutip dari KOMPAS yang mengabarkan tentang seklumit sejarah musik Indonesia tapi menurut ku punya manfaat yang sangat Besar. Hal ini tentang komentar bapak Remy Silado yang mengatakan bahwa musik Indonesia banyak yang diadopsi dari bangsa laen. Selengkapnya bisa baca ulasan di bawah ini. 
 

Sesama Penyolong Jangan Saling Mendahului
KOMPAS,
Minggu, 6 September 2009 | 03:00 WIB
Remy Sylado

Kompas ikut membikin ramai klaim-klaiman Indonesia terhadap Malaysia, mencantumkan judul lagu ”Terang Bulan” sebagai ciptaan orang Indonesia.
Sebelumnya beberapa brodkas TV stel yakin mencocokkan lagu kebangsaan Malaysia ”Negaraku” dengan lagu ”Terang Bulan”. Malahan seseorang yang mengaku anak Sjaiful Bachri, pemusik Indonesia yang pernah ”lari” ke Malaysia, sebagai pencipta ”Terang Bulan”.
Salah satu, jika bukan satu-satunya media pers Indonesia pada 1957 yang memuat berita tentang ”Terang Bulan” menjadi lagu kebangsaan Malaysia adalah majalah Musika No 1 Th I September 1957. Majalah yang dipimpin Wienaktoe itu menurunkan berita berjudul ”Negaraku” sebagai berikut: ”Melodi lagu ’Terang Bulan’ jang kesohor itu achirnja dengan resmi diterima sebagai lagu kebangsaan Malaya pada hari kemerdekaan tanggal 31 Agustus 1957 j.l. dengan diberi nama dan tekst baru ’Negaraku’. Pihak RRI dan Pemerintah Indonesia untuk menjatakan penghargaannja, telah melarang diputar dan dimainkan atau diperdengarkan melodi tsb pada setiap kedjadian biasa”.
 

Kalau kita membaca Het Nationale Volkslied oleh Margreet Fogteloo & Bert Wikie (AW Bruna Uitgevers BV Utrecht), jelas diuraikan bahwa ”Negaraku” yang dulu di Indonesia dikenal sebagai ”Terang Bulan” adalah ciptaan orang Perancis bernama Pierre Jean de Béranger (1780- 1857).
Siapa sebenarnya orang ini? Ensiklopedia pertama yang terbit setelah Indonesia merdeka, Ensiklopedia Indonesia, 1954, oleh TS Mulia dan KAH Hidding mencatat nama Pierre Jean de Béranger sebagai pencipta sejumlah lagu rakyat (Pr chanson populaire, Ing. folk song, Bld, volkslied). Di antara ciptaannya yang terkenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Perancis di sini, Februari-Agustus 1811, sampai digegaskannya Bandung sebagai Parijs van Java, 1925, adalah Chansons morales et autres, Chansons nouvelles, Chansons inédites.
 

Selama itu, pengaruh kebudayaan Perancis di Indonesia, jadi bukan di Malaysia, memang besar. Di Manado, yang sekarang disebut katrili, dan merupakan kesenian tradisional, berasal dari kata bahasa Perancis quadrille. Lalu, di Bandung, teater tradisional longser merupakan serapan kata bahasa Perancis, aba-aba seorang sutradara mengucapkan kata longer untuk bergerak lalu. Dan, jangan lupa kereta sado di Batavia berasal dari bahasa Perancis dos à dos, artinya duduk saling memunggung.
 

Tetapi, di antara tokoh-tokoh seni Perancis yang pernah lama mukim di Indonesia, bukan Malaysia, adalah penyair terkemuka perkusor Simbolisme abad ke-19, Arthur Rimbaud. Pada 1876 penyair ini tinggal di Salatiga sebagai serdadu batalion I infanteri. Tentang dirinya di Salatiga bisa dibaca dalam Het Koninklijk Negerrlands-Indisch Leger 1830- 1950 oleh Zwitzer & Heshusius (Staatsuitvegerij ’s-Gravenhage).
Salah seorang sahabat Rimbaud, René du Bois, bahkan menetap di lereng gunung Ungaran sampai tua, dan termasuk yang dikunjungi Mata Hari (Margareha Geertruide Zelle) sang ’polyglot harlot’ yang dieksekusi mati oleh otoritas Perancis pada Perang Dunia I sebagai mata-mata.
 

Maunya, dengan sekelumit gambaran ini, jangan sampai gairah klaim-klaiman Indonesia terhadap Malaysia lantas melupakan peribahasa ”semut di seberang laut tampak gajah di depan mata tak tampak”. Sebab, kita juga punya kebiasaan nyolong.
 

Sebagai pembuka ingatan, perhatikan dua lagu yang dianggap memiliki pathos kebangsaan, yaitu lirik ”Dari barat sampai ke timur berjajar pulau-pulau”, dan ”Kulihat Ibu Pertiwi sedang bersusah hati”. Yang pertama mengingatkan lagu Perancis ciptaan Rouget de Lisle. Memang hanya bagian depan, bagian yang sama dimanfaatkan Beatles juga.
 

Tetapi yang kedua, ”Kulihat Ibu Pertiwi sedang bersusah hati”, adalah 100% pencurian atas lagu gereja ”What a Friend We Have in Jesus”. Tidak tahu apa ilusi grup musik perempuan asal Surabaya, Dara Puspita, pada 1960-an menyanyikannya menjadi ”Ibu Pertiwi sedang bersusah”. Lagu himne ini aslinya diciptakan oleh Horatius Bonar pada lirik dan Charles Crozat Converse pada musik, dan dicatat hak ciptanya pada 1876 lewat Biglow & Main.
 

Harapannya, dalam klaim- klaiman yang sedang panas sekarang ini, jangan pula melahirkan pemeo baru ”Sesama pencuri jangan saling mendahului”. Sebab, ujungnya kalau urusan marah-marah ini dibeberkan dengan kasus-kasus plagiat yang ternyata tidak sepi di Indonesia, malunya harus ditanggung bersama.
 

Sekadar contoh lain untuk mengingatkan itu, pada 1971 Markas Besar Angkatan Darat, ditandatangani oleh Brigjen Soerjadi, telah membuat malu memberi piagam kepada Ismail Marzuki sebagai komponis yang disebut mencipta lagu ”Auld Lang Syne”. Periksa Lagu-Lagu Pilihan Ismail Marzuki, oleh WS Suwito, Titik Terang, Jakarta. Tentu saja ini ngawur yang menyedihkan. Lagu ”Auld Lang Syne” itu nyanyian tradisional Skot yang digubah oleh Robert Burn dan dicatat penciptaannya melalui Preston & Son, London, 1799.
 

Sebelum itu, Ismail Marzuki disebut juga sebagai pencipta lagu ”Als die orchideeën bleien” dan ”Panon Hideung”. Padahal, lagu yang pertama, yang kemudian berlirik bahasa Indonesia ”Bunga anggrek mulai timbul”, adalah ciptaan Belloni, pemimpin orkes Concordia Respavae Crescunt, yang dinyanyikan oleh Miss Lie pada 1922.
 

Yang kedua, ”Panon Hideung” adalah lagu tradisional Rusia, diaransemen di Amerika oleh Harry Horlick & Gregory Stone dan masuk hak cipta pada 1926 di bawah Carl Fischer, Inc, lalu diperkenalkan di Indonesia, melalui Bandung pada tahun yang sama oleh pemusik Rusia bernama Varvolomeyev.
 

Termasuk Presiden RI Soekarno, pada 1961 membuat kesalahan memberikan Piagam Widjajakusuma kepada Ismail Marzuki, yang menyebut dalam piagam itu bahwa lagu ”Hallo- hallo Bandung” adalah ciptaan Ismail Marzuki. Padahal, lagu itu aslinya ciptaan seorang prajurit Siliwangi bernama Lumban Tobing yang dinyanyikan bersama peleton Bataknya dari long march Yogya-Bandung di zaman revolusi. Tentang kematiannya bisa dilihat lukisannya di Museum Siliwangi, Jl Lembong, Bandung.
 

Lagu ”Hallo-hallo Bandung” ciptaan Lumban Tobing ini hanya sama judul, tapi beda melodi dan lirik dengan lagu Belanda nyanyian Willy Derby pada 1929 ketika radio NIROM (Nederlands Indische Radio Omroep Maatschappij) beroperasi di Bandung versi baru rekaman ini dinyanyikan lagi oleh Wieteke van Dort di TV Belanda dalam De Stratemakeropzeeshow, 1972, dan dicetak teksnya pada 1992 dalam De Wduwe van Indië.
 

Nah, ”Terang Bulan” juga tersua dalam De Wduwe van Indië dalam dua teks, yaitu bahasa Indonesia gaya KNIL dan bahasa Belanda. Kita baca teks yang pertama saja:
 

Terang boelan
terang boelan di kali
Boewaja timboel
katanja lah mati
Djangan pertjaja
orang lelaki
Brani soempa
dia takoet mati.
 

Asal saja teks lama di atas tidak jadi ejekan kepada kita, Indon, sebagai ”brani soempa, dia takoet mati”. Kalau ada tuduhan begitu, rasanya elok diingat teriakan Bung Karno dulu, ”Ganyang Malaysia!”
Remy Sylado Pengamat Musik, Novelis, Dramawan.

Semoga Bermanfaat.......

4 komentar:

musafir Isfanhari mengatakan...

satu budaya memang tidak terlepas dari pengaruh budaya yang lain. Ki Hajar Dewantara mengatakan : Dua Budaya bertemu, maka bisa terjadi saling mempengaruhi dan melahirkan budaya baru. itu yang terjadi dengan beberapa budaya yang ada di Indonesia.berbeda dengan Malaysia, mereka jelas jelas mencuri. Contoh Tari Pendet: mulai dari kostumnya, penarinya, lokasinya semua 100 persen Indonesia. Begitu juga Reyog Pemainnya adalah 100 persen orang orang Ponorogo yang tinggal di Malaysia, konon di malaysia ada kampung namanya kampung Ponorogo karena warganya adalah imigran asal Ponorogo. Kurang ajarnya Malaysia adalah mengklaim Reyog milik mereka, dan dikarang latar belakang sejarahnya sesuai dengan legenda yang ada disana. Tentang lagu "Panon Hideung" yang diklaim ciptaan Ismail Mz, memang benar itu jiplakan 100 persen dari lagu suku bangsa Gipsi di Eropah. Judul aslinya adalah Octi chornia yang artinya dalam bhs Indonesia adalah "Mata Hitam". Panon Hideungpun (bhs Sunda) artinya juga mata hitam. tapi bukan cuma di Indonesia, di Jerman Octi Chonia juga diterjmahkan dlm bahasa Jerman, di Inggris juga ada lagu itu dengan judul Black Eyes. Bahwa bung Karno salah memberi piagam Wijaya Kusuma kepad Ismail Mz untuk lagu Hallo hallo Bandung itu karena ketidak tahuan bung Karno, jadi bukan niat mencuri atau nyolong seperti yg dibilang Remy Sylado. Tentang lagu "Dari barat sampai ketimur" ; Auld Lang Syne; Bunga Anggrek" masyarakat sudah tahu lama bahwa itu lagu Barat yang diganti syairnya bahasa Indonesia. Remy Sylado kadang kadang memang agak sinis terhadap bangsa sendiri. maksudnya mungkin mengkritisi, cuma kurang elok kalimatnya.

DadangPro mengatakan...

Terimakasih pak atas pencerahannya... tapi apakah ada referensi soal sejarah budaya atau musik Indonesia? jika berupa buku judulnya apa pak? atau berupa sumber lain tolong saya dikasi petunjuk. Sekali lagi saya ucapkan Terimakasih

m mengatakan...

kalau berupa buku khusus saya belum pernah lihat. tapi kalau buku tentang lagu dan tari jawa timur rasanya saya punya, tapi harus dicari dulu.

DadangPro mengatakan...

Mungkin saya akan sowan ke rumah pak Is nih... saya ingin belajar banyak pak soal ini, saya merasa belum pernah dapat ini waktu di kampus dulu dan merasa sangat kurang mengenai hal ini......

Terimakasih pak Is yang selalu memberikan pencerahan kepada saya....

Posting Komentar